Oleh: Mayangsari Rahayu
“Pranggg…” suara gelas pecah berkeping terdengar dari arah dapur, dekat tempat cucian piring. “Tadi kurang hati-hati, Bu.” tutur si Tengah penuh rasa bersalah sembari memunguti pecahan. “Ya, Nak. Sudah, segera menghindar nanti biar Ibu bantu bereskan. Ada pecahan kecil-kecil yang mas Rasikh belum bisa, rawan terluka.” berusaha tetap tenang.
Belum sempat beranjak, suara si Sulung dari kamar mandi meluncur dengan innocent, “ Ibuu, sudaah.” Kalimat pemberitahuan yang memuat perintah tegas& harus segera dilaksanakan. Ya, membantu istinjak. “Ya,Nak. Bersabar, sebentar ya. Dituntaskan dulu.” lirih jawabku pada si Sulung sembari perlahan berusaha menyudahi proses menyusui si Bungsu.
Bismillah, menguatkan diri. Sambil menahan demam&letih, Ibu tertatih beranjak menyelesaikan satu per satu. Membereskan pecahan gelas dan bersegera menuju ke kamar mandi membantu si Sulung. Berlanjut, tergopoh-gopoh meluncur kembali ke kamar. Menyelamatkan si Bungsu dari tangis ketidakridloan akibat terjedanya ASI yang tadi tengah asyik diminumnya.
***
Demikian sekilas fragmen sehari-hari bersama ketiga ananda balita tercinta. Benar. Menjadi ibu tangguh memang membutuhkan fisik yang kuat. Namun, tak cukup itu. Pengetahuan mendidik, baik tsaqofah maupun teknis uslub& washilah, mutlak harus dimiliki juga. Sebab, seorang Ibu bukanlah sekedar induk. Tak hanya berbicara urusan memberi makan&minum, memandikan, memberikan pakaian, dan menyediakan tempat berteduh dari panas dan hujan.
Lebih dari itu, Ibu adalah madrasatul ‘ula, pendidik utama dan pertama bagi putra-putrinya. Ibu lah yang akan membentuk kepribadian islam pada ananda. Mengisi file-file otaknya dengan tsaqofah islam. Menyirami hatinya dengan taqarrub ilallah. Sejuknya hati bertemu dengan matangnya tsaqofah islam akan bersenyawa membentuk dorongan kuat untuk beramal penuh kesadaran dan kebahagiaan. Bukan keterpaksaan yang berbuah trauma menjalankan syariahNya.
Ibnu Umar berkata, “Didiklah anakmu, karena kelak kamu akan ditanya tentang pendidikan dan pengajaran seperti apa yang telah kamu berikan kepada anakmu. Anakmu juga akan ditanya tentang bagaimana dia berbakti dan berlaku taat kepadamu.”
Oleh karenanya, dibutuhkan bekal yang lebih mendasar pada ibu, yaitu syakhshiyah islamiyah mutamayyizah. Ibu harus memiliki kepribadian islam yang istimewa. Jauh di atas rata-rata, tak puas dengan yang alakadarnya. Sosok yang mampu melihat neraka begitu nyata dan surga seolah di hadapannya. Dorongan ukhrowi inilah yang akan menjadi kunci dimilikinya infinite power bagi seorang ibu, yang pastinya merangkap jabatan sebagai seorang istri dan juru dakwah di tengah umat tercinta.
Dorongan yang membuat ibu tak peduli lagi betapa letihnya raga, tiada malu untuk terus belajar, tak mati gaya sekalipun sudah mencoba 1001 cara ‘menaklukkan’ buah hatinya, tak gentar dengan beraneka himpitan ekonomi akibat cengkraman neoliberalisme di negeri ini dan berbagai kesulitan lainnya. Apa yang dalam pandangan kebanyakan manusia terasa susah, baginya mudah. Fokusnya hanya satu, surga. Energinya akan dikerahkan pada solusi, bukan membelenggu diri pada kendala yang dihadapi. Walhasil, aneka kreatifitas bermunculan tak terbendung.
Bekal terakhir namun mutakhir, yaitu dakwah islam kaffah. Aktivitas mulia yang dilakukan para nabi. Aktivitas yang oleh para ulama disebut tajjul furud, mahkota kewajiban. Dengan dakwah, islam kaffah akan diterapkan oleh khilafah. Ada jaminan atas pelaksanaan seluruh kewajiban. Termasuk di dalamnya support atas pelaksanaan kewajiban pendidikan anak. Tak ada lagi kekhawatiran anak terpapar pornografi, pornoaksi, atau bahkan perbuatan keji ala kaum nabi Luth, dan sebagainya. Tak sebagaimana kini, peraturan dalam Khilafah akan bersinergi dan menguatkan pembentukan generasi tangguh. Generasi dengan iman & takwa yang kokoh, fisik yang sehat dan penguasaan iptek yang mantap. Ah, alangkah indahnya.
Dakwah? Tidakkah justru akan membuat kita merengguk payah yang bertambah-tambah? Benar. Payah bertambah, namun menguatkan. Inilah bedanya sudut pandang manusia biasa dengan manusia bervisi surga. Bagi ibu biasa, dakwah membuat letih & lemah. Banyak aktivitas, tak ada kompensasinya & kehilangan waktu bersama keluarga, lantas kapan mengedukasi ananda? Ini adalah contoh pola pikir kerdil yang perlu segera diberikan suntikan kesadaran. Bagi ibu istimewa bervisi surga, dakwah adalah kekuatan dan kawah candradimuka bagi para pejuang. Dakwah mengajarkan kita rasa syukur, betapa banyak orang di luar sana yang kehidupannya tak seberuntung kita. Inilah kekuatan yang akan melahirkan berbagai solusi kreatif yang mampu mengunci bisu dalih-dalih yang melemahkan.
Dakwah itu edukasi nyata untuk ananda. Bukankah kita ingin mendapatkan generasi yang mencintai Islam? Bukankah kita inginkan generasi dengan semangat juang tinggi? Bukan generasi kerupuk tersiram air. Jawabnya libatkan ananda dalam dakwah sejak dini. Nanda akan banyak belajar makna perjuangan, pengorbanan, kepedulian, kreativitas,dsb. Dan teladan terdekatnya tentu saja orangtuanya, terlebih lagi ibunya. Bagaimana mungkin kita merindukan generasi pejuang perindu surga tapi diri sendiri enggan terlibat dalam perjuangan? Sungguh, jauh panggang dari api.
Ada pepatah jawa mengatakan “jer basuki mawa beya”. Artinya, semua keberhasilan membutuhkan pengorbanan. Meraih surga pun demikian, butuh kerja kerasdan kerja cerdas. Semoga Allah kokohkan langkah kita menjadi ibu tangguh yang layak tersemat surga di telapak kaki. Semangat melejitkan valensi diri jauh di atas rata-rata, wahai Ibu Tangguh! []
#2019MenjadiIbuTangguh
#SekolahAnakTangguh
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.