Kaos dakwah, sebuah trend fashion yang mulai menghangat akhir-akhir ini. Tak terkecuali di Jogja, kota pendidikan dengan banyak kampus berdekatan. Kota tujuan wisata dengan berbagai variasi objek wisatanya. Ya, di Jogja sahabat bisa menemui wisata budaya, wisata religi, wisata bahari hingga wisata pegunungan dan hutan. Landscape lengkap untuk provinsi kecil di pulau Jawa ini.
Jika kita menelisik dakwah Islam di Jogja, agaknya kita perlu menengok kembali sejarah Mataram Islam di Yogyakarta. Ya, Islam sejatinya sangat kental di kota ini. Kondisi tersebut masih berusaha dipertahankan, meski sejarah pernah mencatat kejadian kelam saat Amangkurat III melakukan pembunuhan massal pada para ulama. Minimal kita mencatat pernah ada upaya kebangkitan saat Pangeran Diponegoro bangkit melawan hegemoni Belanda di tanah Jawa ini.
Diponegoro kecil yang dididik oleh neneknya di Tegal Rejo, tumbuh menjadi sosok yang mencintai Islam. Beliau tidak rela ajaran-ajaran dari Belanda bebas diterapkan di institusi Kraton. Alhasil semangat jihad fisabilillah beliau bersama Kyai Mojo dan pendukung lainnya cukup membuat Belanda mengalami kerugian finansial yang cukup besar dari tahun 1825 hingga 1830. Sebelum itu pun Sultan Agung Hanyokrokusumo pernah berusaha mengusir Belanda di Batavia. Meski belum berhasil namun semangat Islam jelas sangat kental dan 2 frase sejarah tersebut.
Setelah era Diponegoro lah Belanda bisa bebas melakukan infiltrasi kebudayaan dan cara pandang barat di Kraton. Hal yang sangat kita sayangkan sebagai generasi saat ini. Balik lagi ke kaos dakwah di Jogja, apa kaitannya dengan cerita sejarah tersebut. Kami ingin menyampaikan bahwa ruh Islam pemuda di Jogja cukup kuat. Ini bisa menjadi modal dasar untuk melakukan perubahan masyarakat bahkan hingga ke skala nasional.
Namun apa boleh buat, potensi tersebut ternyata dapat dibonsai dengan berbagai fasilitas hidup yang melenakan di provinsi yang sering disebut dengan miniatur Indonesia ini. Saat ini tumbuh bak jamur di musim penghujan pusat-pusat perbelanjaan dan perhotelan di Jogja, bahkan tak jarang di hotel berbintang dilengkapi dengan adanya diskotek. Sesuatu yang melemahkan generasi muda kita. Dakwah memang tetap ada, namun seakan masih kalah dengan kampanye kebatilan di jalan-jalan seputar Jogja. Mungkin inilah kondisi “buih” sebagaimana yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah SAW.
Antara optimis dan pesimis, itulah frase yang menurut kami tepat untuk menggambarkan kondisi kaos dakwah di Jogja. Di satu sisi kita bisa melihat semangat Islami tumbuh cukup baik di lingkungan kampus, namun di sisi lain terasa begitu parah kerusakan yang ada. Karena kaos dakwah memiliki pangsa pasar khusus, yaitu kaum muslim. Ketika kaum muslim pemikiran Islamnya bagus, dengan mudah akan menerima pesan dari kaos dakwah yang dipakai, dan tanpa paksaan pula meninggalkan kaos konvensional, karena value “akhirat” yang tidak ada. Adanya bisyarah (kabar gembira) dari Al Quran maupun Hadist tentang kejayaan ummat Islam sepertinya bisa menjadi pemicu optimisme penggiat kaos dakwah di Jogja, meski saat ini belumlah terjadi namun janji Allah itu pasti.
Di Jogja sendiri, saat artikel ini ditulis (Maret 2016), sudah ada banyak brand kaos dakwah yang ada, ada Nafeewear, Poobiz, Satujari, Mujahidin, Naidu Clothing, Kaos Bapak Sholeh, Kawah (Kaos Dakwah) dan sebagainya. Masing-masing brand dengan ciri khas tersendiri berusaha menggaet pasar kaum muslim di seantero Indonesia. Tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah, mengingat animo masyarakat yang terus tumbuh serta beberapa program televisi sudah mulai ada yang meliput geliat kaos dakwah di Jogja. Insyaa Allah optimisme itu tetap menyala.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.