(Menjaga Hasrat Alami Belajar Anak Kita)
Dalam buku mereka The Scientist in the Crib: What Early Learning Tells Us About the Mind, tiga orang doktor dari dua universitas di Amerika –yaitu Alison Gopnik, Andrew N. Meltzoff dan Patricia K. Kuhl– melakukan serangkaian riset yang mengungkap banyak rahasia cara berpikir dan belajar pada bayi dan anak-anak. Buku ini mampu menggeser perspektif kita tentang makhluk mungil ini. Mereka bukanlah makhluk bodoh tak berdaya yang tidak bisa berpikir dan belajar. Mereka adalah makhluk tercerdas melebihi mesin-mesin cerdas yang pernah ada di muka bumi. Mungkin lebih terasa sensasi teknologinya bila mereka kita sebut Baby 0.0.
Sebagai orang yang pernah menekuni dunia mesin cerdas (machine learning) selama 3,5 tahun di Tokyo Institute of Technology, serta sedikit paham tentang neuroscience, saya amat takjub dengan ciptaan Allah swt yang bernama bayi dan anak-anak. Mesin apa yang bisa secerdas mereka? Pertanyaan retoris dengan jawaban tidak ada.
Baby seri 0.0 telah dibekali oleh Allah swt dengan kemampuan belajar yang super excellent. Ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu menerima pengetahuan baru, tapi mengolahnya dengan mekanisme belajar yang tidak bisa ditandingi oleh komputer canggih apapun. Secara spontan mereka mampu merevisi, membentuk ulang dan merestrukturisasi pengetahuan yang diterima. Kemampuan ini sama sekali tidak dimiliki oleh komputer super manapun. Komputer hanya bisa belajar dan memutuskan hal-hal yang telah terdefinisi dengan baik, tapi tidak mampu melakukan perubahan spontan dalam cara belajarnya. Menurut 3 doktor Amerika tadi, bayi-bayi dilengkapi dengan teknologi pendukung super canggih di dunia. Teknologi tersebut bernama Ibu. Ya, Ibu yang melahirkan mereka. Berbahagialah wahai ibu!
Kemampuan dan kemauan belajar pada Baby 0.0 secara alamiah melekat dalam diri mereka. Allah swt telah menganugerahkan hadiah berharga ini. Mereka didesain untuk selalu ingin tahu. Memenuhi rasa ingin tahu mereka capai melalui proses belajar. Mengobservasi dan meneliti lingkungan di sekitarnya.
Perilaku orang dewasa tanpa disadari membantu mereka mempelajari segala yang mereka indera. Mereka terlihat ulet, fokus dan bergairah untuk membuka rahasia obyek yang diamati. Jangan sekali-kali mengambil obyek penelitian mereka. Bila Anda ambil mainan baru mereka, maka Anda akan melihat Thomas Edison berduka kehilangan bahan percobaannya.
Jostein Gaarder, penulis novel filsafat Dunia Sophie, menggambarkan rasa ingin tahu anak-anak dengan satu ungkapan yang representatif. Saat datang ke Indonesia dia mengatakan, “Anak-anak adalah seorang filsuf”. Anak-anak didesain untuk menjadi makhluk yang bertanya sampai sepuas-puasnya. Melihat dunia dengan gairah yang tinggi. Menjadikan segala yang ada untuk dipertanyakan. Mereka bertanya untuk mencari jawaban yang memuaskan.
Bila Jostein Gaarder mendefinisikan anak sebagai filsuf. lain halnya tiga doktor Amerika yang kita sebut di depan. Mereka melihat anak-anak memiliki tabiat seperti ilmuwan yang memiliki hasrat ingin tahu yang besar. Mereka memang tidak setuju menyebut anak-anak disebut sebagai ilmuwan cilik. Yang tepat menurut mereka, ilmuwan adalah anak-anak yang besar. Ini menekankan sifat alamiah manusia sebagai makhluk pembelajar yang tangguh dengan hasrat belajar yang tinggi sejak awal penciptaannya.
Ellen Kristi dalam bukunya Cinta yang Berpikir mengingatkan kita tentang sifat alamiah ini dengan menuliskan satu bab di bukunya dengan judul Imani Hasrat Alamiah Belajar. Menurutnya, “bila anak-anak sehat jasmani pasti merasa lapar, dan pasti mencari makanan. Begitupula anak-anak yang sehat pikiran pasti punya rasa ingin tahu yang besar, dan pasti suka belajar”.
Tugas para orang tua adalah merawat pikiran sehat anak-anak mereka. Bukan memaksa mereka belajar tapi men-tuning mereka agar mencintai proses belajar. Anak yang sehat pikiran tidak dibentuk melalui pemaksaan dengan segudang pengetahuan, tapi dengan inspirasi dan motivasi agar mereka mencintai ilmu pengetahuan.
Kesalahan besar bila orang tua memaksa anak-anak mereka menjadi orang pintar. Menjejali mereka dengan berbagai macam les private dari A sampai Z, menghabiskan waktu mereka hanya untuk kegiatan akademik formal, membebani mereka dengan setumpuk pekerjaan rumah, memberi pelajaran di luar batas akal mereka, mengontrol aktivitas mereka untuk ambisi meraih ranking kelas dan memotivasi mereka untuk kepentingan sempit duniawi.
Tugas orang tua adalah menjaga hasrat alamiah belajar mereka hingga dewasa. Ini dilakukan dengan cara men-tuning mereka agar mencintai ilmu pengetahuan. Bukan membebani batin mereka menjadi best of the best. Jauh-jauh hari Rasulullah saw. mengingatkan agar memberi pelajaran dengan cara yang dapat menghadirkan kegembiraan, bukan membuat mereka lari dari majelis ilmu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan,
“Ajarilah. Mudahkan, jangan menyulitkan. Berilah kabar gembira, jangan membuat orang lari. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya diam.” (Muhammad saw.)
Anak-anak tidak boleh dipaksa tapi mereka tetap disadarkan tentang penting dan wajibnya belajar. Kewajiban tidak selalu berkonotasi pemaksaan. Kewajiban akan terasa memotivasi dan menginspirasi bila lahir dari iman.
Perintahkan anak-anak belajar bukan untuk kepentingan duniawi semata, tapi jauh lebih besar dari itu, yaitu untuk kepentingan akhirat. Dengan motivasi akhirat ini, Insya Allah, hasrat alamiah belajar mereka terjaga bersama iman mereka hingga dewasa. Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Perintahkanlah anak-anak kalian menuntut ilmu.”
“Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkannya menempuh jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Drafting TheMODELforSmartParents
Sumber : catatan Fb Nopriadi Hermani PhD
Diposting ulang oleh situs kaos islami @kaosbapaksholeh
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.