Tanpa Penanganan Tepat, Klithih akan Terus Marak

posted in: Artikel | 0

Darah pelajar kembali tertumpah, kota pelajar kembali berduka. Lagi, aksi klithih memakan korban jiwa. Korban bernama Ilham Bayu Fajar (17) yang merupakan siswa SMP Piri 1 Yogyakarta. Korban diserang sekelompok orang tidak dikenal dengan menggunakan senjata tajam di jalan Kenari yang berada dekat dengan kantor Pemkot Yogyakarta pada hari Minggu (12/03/2017) sekitar pukul 01.00 WIB dini hari. Setelah sebelumnya Adnan Wirawan Ardiyanta (16), siswa SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta juga meninggal dunia akibat klithih pelajar (12/12/2016) siang hari di Selopamioro, Imogiri, Bantul. Banyak pihak, mulai dari masyarakat umum sampai pejabat, prihatin dan mengecam aksi brutal tersebut. Kekhawatiran akan keamanan dan harapan akan bersihnya DIY dari segala bentuk kekerasan –khususnya kekerasan pelajar- menjadi hal yang sangat dirasakan masyarakat. Upaya untuk mengatasi klithih juga sudah dan terus digalakkan oleh pihak terkait. Kapolda DIY Brigjen Pol Ahmad Dofiri mengaku tak kurang upaya pencegahan dilakukan jajarannya. Melakukan razia setiap malam, khususnya malam Minggu terus dilakukan untuk mengurangi aksi klitih di Yogyakarta.

Patroli polisi untuk pembersihan klithih memang cukup membuahkan hasil. Hanya saja, jika tidak ditindak lanjut dengan sanksi yang tegas dan mampu membuat jera, aksi klithih akan terus berulang. Tak semua pelajar masih anak-anak, tak sedikit pelaku klithih telah akil baligh. Berarti mereka sepenuhnya sadar akan pilihan-pilihan hidupnya, mau melakukan kriminalitas atau tidak, mau berprestasi atau tidak, mau ikut genk atau tidak. Inilah yang membuat lemah sanksi di negeri ini. Ketika kriminalitas ‘dilindungi’ atas nama masih pelajar dan dianggap anak-anak. Dampaknya, kejahatan pelajar terus berulang bak lingkaran setan yang sulit diputus. Tak hanya meresahkan warga, tapi juga meresahkan Negara. Quo vadis negeri ini? Pelajar adalah asset perbaikan negeri. Beberapa tahun kedepan di tangan mereka lah nasib negeri ini ditentukan. Apatah jadinya jika estafet kepemimpinan berada di tangan generasi gangster semacam ini. Tentu saja rakyatlah yang nantinya akan menelan pil pahit keterpurukan, jauh dari harapan kebangkitannya. Miris, tak berani membayangkannya.

 


Negeri ini juga perlu bercermin diri. Banyak tokoh yang menyadari bahwa pelaku klitih adalah manusia bermasalah baik di keluarga ataupun di sekolah. Mereka kurang perhatian dan edukasi keluarga maupun sekolah. Pertanyaan berikutnya adalah apa yang membuat mereka kehilangan perhatian semua itu. Sistem pendidikan saat ini kewalahan melahirkan generasi cemerlang yang berkepribadian unggul. Sistem pendidikan kita seakan tiada daya menggenggam para pelajar dalam proses edukasi. Para pelajar seolah liar tak terkendali meluapkan emosi mereka. Dijadikannya sekulerisme sebagai landasan sistem pendidikan negeri ini telah mencerabut ruh keimanan dalam diri pelajar. Pendidikan agama memang diberikan di sekolah, hanya saja dalam sudut pandang sekuler. Islam diajarkan sebatas ranah ibadah ritual ansich. Itu pun dengan metode pembelajaran yang didesain sebatas pemberian pengetahuan belaka dan jam pelajaran yang minimalis (3-4 jam pelajaran/pekan). Ketika Islam hanya diberi ruang sempit di pojok-pojok masjid, maka iman dan takwa pun tak –diizinkan- dapat mewarnai setiap aktivitas di luar ranah ibadah spiritual. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika output pendidikan Kapitalisme sarat dengan nilai liberalisme (kebebasan). Pribadi-pribadi anak didik menjadi sangat sulit dikendalikan dan diarahkan. Belum lagi, tak sepanjang 24 jam mereka bersama sekolah. Yang turut juga mendidik mereka adalah lingkungan masyarakat. Hanya saja, masyarakat yang berbudaya hidup liberal tak akan ambil pusing dengan tindakan ‘anak orang’ kecuali sudah mulai sangat dirugikan. Kontrol sosial tak mampu berjalan layaknya seharusnya. Media social juga sangat membentuk karakter pemuda. Hampir setiap pelajar menggenggam gadget di tangan. Tak sedikit informasi kekerasan berkeliaran di layar media sosial tanpa tersaring mempengaruhi benak pemuda. Atas nama kebebasan informasi, hal tersebut jelas semakin memperunyam masalah kekerasan pelajar. Belum lagi keluarga yang dengan terpaksa pergi tak acuhkan anaknya karena harus membanting tulang demi menyambung nafas keluarga. Ini dampak dari negeri kaya raya ini termiskinkan akibat liberalisasi ekonomi.

Jelas pemicunya bukanlah factor tunggal melainkan multidimensi. Oleh karenanya pendekatan penyelesaiannya juga mutlak tak bisa menggunakan ‘kacamata kuda’ ke arah patroli semata. Tentunya sangat diperlukan upaya serius dan mendasar dari pemerintah agar kekerasan pelajar dapat dihentikan, tak hanya di DIY melainkan juga di daerah-daerah lainnya. Generasi harus diselamatkan dari budaya kekerasan. Saatnya generasi mendapatkan ruang kondusif untuk menjadi pemimpin negeri masa depan melalui pengaturan kehidupan yang mengintegralkan iman, bukan justru memisahkannya dari kehidupan.

 

Mayangsari Rahayu, S.Si
Pemerhati Perempuan, Keluarga dan Generasi

Follow Suryono:

Brand kaos distro muslim Kaos Bapak Sholeh adalah brand clothing dari Jogja. Kami membuat kaos distro muslim bertema keluarga. Semoga menjadi wasilah untuk menjadi pribadi yang lebih bertaqwa dan mendekat dengan Nya.

Leave a Reply