Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Pengekangan maupun pengaturan uang jajan anak juga perlu dilakukan secara terencana dalam rangka mendidik anak menuju taklif. Kita ingat, salah satu kecakapan pada masa taklif adalah kemampuan membelanjakan harta secara bertanggung-jawab. Pengekangan, pengaturan atau bahkan pembebasan pada waktu tertentu dalam memberi uang jajan kepada anak, dapat sekaligus menjadi pendidikan bagi anak.
Terlalu mengekang dapat membuat anak bukannya belajar berhemat, tapi justru liar tak terkendali begitu ia memperoleh kesempatan. Sebaliknya membebaskan anak tanpa kendali dan pengaturan dapat menjadikan anak tidak mampu menakar prioritas dan mengendalikan keinginan. Ini dapat menjadi bom waktu bagi anak. Pemicu afluenza yang diderita anaknya orang-orang super kaya, bukanlah karena orangtua mereka yang kaya-raya, tetapi karena lemahnya pendidikan untuk mengendalikan hasrat, keinginan dan daya juang mereka. Anak-anak itu menjadi lemah justru karena tidak memperoleh pengalaman mengendalikan keinginan.
Memberi Tanpa Diminta
Ada saat-saat orangtua perlu memberi tanpa menunggu anak meminta. Ada pula saat-saat orangtua perlu menahan diri untuk tidak memberi, meskipun anak meminta. Memberi tanpa diminta menunjukkan tulusnya kasih-sayang orangtua kepada anak. Ia memberi bukan sebagai “imbalan” bersebab anak telah melakukan sesuatu. Ia melakukan itu untuk anaknya semata-mata karena rasa sayangnya kepada anak. Adakalanya, ini perlu kita lakukan untuk menunjukkan kepada anak bahwa kita mencintai mereka tanpa pamrih.
Berilah anak saat ia sedang bermain, misalnya. Atau ketika ia sedang santai membaca. Kita memberi tanpa diminta pada saat yang tak terduga. Tetapi, batasi kapan memberi uang tanpa diminta. Apalagi jika saat anak meminta, kita sering menolaknya. Tetapi saat tak meminta, kita kerap memberinya tanpa diduga-duga. Rangkaian kejadian semacam ini dapat merancukan persepsi anak tentang orangtua.
Kita juga dapat memberikan uang dalam jumlah lebih banyak, semisal setelah berdialog dengan anak tentang apa yang akan ia lakukan dengan uang, apa hal penting yang ingin diperoleh anak jika mempunyai cukup uang. Salah satu anak saya yang masih SD kelas bawah misalnya, memiliki keinginan besar untuk berkurban kambing saat Idul Adha. Ia mulai menabung. Ini merupakan tekad yang baik. Kita dapat memberikan uang lebih banyak untuk ia tabung. Ini jauh lebih mendidik daripada kita tahan tekadnya dengan menjanjikan untuk membelikan kambing kurban saat Idul Adha nanti.
Jadi, kapan saja sebaiknya kita memberi tanpa diminta? Kapan pula kita perlu menolak permintaan anak? Tanyakanlah pada hati Anda. Kenalilah anak Anda dalam urusan ini.
Memberi dengan Amanah
Memberi uang kepada anak dapat menjadi sarana mendidik anak menuju taklif (dewasa dan bertanggung-jawab secara syar’i), baik berkait bebanan syari’at maupun kepatutan akhlak. Kita menyiapkan mereka untuk mampu mentasharrufkan harta, yakni mengelola keuangan sesuai tuntutan syari’at. Pada saat kita memberi uang kepada anak-anak kita, mereka perlu belajar menakar kebutuhan serta membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Boleh memenuhi keinginan, tetapi harus tetap terkendali. Ada tanggung-jawab yang harus mereka tunaikan, ada pula kepedulian yang harus mereka miliki. Kesadaran dan keinginan membantu kerabat dekat serta saudara seiman di berbagai belahan bumi ini, perlu kita tanamkan pada diri mereka.
Pada awalnya, kita dapat melatih mereka untuk mengatur uang dengan member mereka uang bekal saat sekolah. Kita memang dapat membawakan mereka bekal berupa makanan, termasuk snack yang mereka sukai. Tetapi ini tidak memberinya pengalaman untuk mengatur keuangan. Selain itu, meski tampaknya anak tidak mengeluarkan uang sama sekali untuk belanja makanan, tetapi sebenarnya bisa lebih boros karena total pengeluaran orangtua untuk keperluan itu sangat mungkin jauh lebih tinggi daripada jika anak ke sekolah dengan membawa uang saku.
Alangkah cantik apabila sekolah juga turut berperan untuk mendidik dan melatih murid-muridnya agar mengendalikan keinginan, belajar mengatur keuangan dan mampu berhemat. Ini akan sangat mungkin dilakukan apabila sekolah dan kantin merupakan satu kesatuan. Kantin merupakan bagian non akademik yang secara aktif terlibat dalam mendidik anak belajar mengatur keuangan, berhemat dan mampu mengendalikan keinginan. Boleh jajan, tapi tidak menuruti semua keinginan.
Sekolah dapat menerapkan kebijakan “Hari Berhemat” dengan mengendalikan jumlah saku dan belanja anak. Bukan dengan membawa bekal dari rumah. Tidak membawa uang saku tetapi membawa bekal, boleh jadi jauh lebih menyenangkan buat anak karena nilai belanjanya lebih besar dibanding hari biasa. Ini berarti, pada “Hari Berhemat” anak justru melakukan pemborosan tersembunyi, yakni tampaknya tak berbelanja, tetapi sebenarnya mendapatkan jauh lebih banyak daripada hari biasa. Karena itu, selain menentukan batasan jumlah uang saku, sekolah melalui guru juga perlu mengenali kebiasaan berbelanja murid-muridnya. Guru dapat melakukan dialog dengan anak-anak untuk memperoleh gambaran sekaligus melakukan internalisasi nilai. Kerap terjadi, anak hanya menjalani program sekolah, tetapi tidak dapat menghayati dan mengambil pelajaran darinya.
Kembali pada perbincangan kita selaku orangtua. Kita dapat memahamkan anak apa yang akan ia peroleh jika banyak jajan begitu waktu istirahat datang, sementara masih ada waktu istirahat berikutnya. Apa yang terjadi jika ia menghabiskan seluruh uang jajannya. Apa pula yang ia dapatkan jika ia menghemat uang sakunya atau menahan diri dari membelanjakan uangnya.
Kita dapat mengajak anak melakukan simulasi sederhana berapa uang yang dapat ia tabung selama sebulan jika ia hanya menggunakan setengah dari uang sakunya. Berapa yang terkumpul dalam setahun, dan kebaikan apa yang dapat ia perbuat dengan uang yang ia kumpulkan. Jika anak belum memiliki itsar (altruisme) yang kuat, ia lebih mudah diajak merencanakan benda bermanfaat yang dapat ia beli dari tabungan uang saku. Tetapi apabila anak telah memiliki kepedulian, menabung untuk berbagi atau melakukan kebaikan lain pun akan mudah. Anak kelas satu SD pun dapat kita ajak mengurangi jajan untuk berbagi dengan yang memerlukan jika sejak kecil telah tumbuh kecintaannya pada berbagi.
Pada tahap awal, kita menjelaskan secara bertahap kepada anak tentang pentingnya mentasharrufkan harta dengan benar. Kita dapat mengajak anak berbincang dan berbagi cerita. Pengalaman anak saat di sekolah, misalnya kehabisan uang saku ketika pelajaran olahraga, merupakan hal berharga yang dapat menjadi bahan diskusi.
Selanjutnya, kita dapat melatih anak untuk mengelola uang dalam jumlah lebih besar untuk rentang waktu lebih lama. Misal, memberikan uang saku sekaligus untuk dua hari. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi anak. Jika anak sudah mampu, kita dapat memberikan uang saku tiga hari sekali atau seminggu sekali dan pada akhirnya bisa sebulan sekali. Yang jelas, kita perlu memperhatikan kemampuan anak. Jika tampak belum mampu, kita dapat menunda sampai anak siap. Selain itu, kita perlu mengimbangi dengan sikap tegas, bahkan sesekali mengetati uang saku. Untuk sementara waktu, orangtua menahan diri tidak memberi uang saku ataupun tambahan uang saku.
Bagaimana dengan pilihan tidak memberikan uang saku kepada anak, tidak pula membekali mereka berbagai makanan atau hanya sesekali membekali? Tidak masalah sejauh anak telah memiliki ‘iffah (penjagaan diri, kemampuan menahan diri untuk menjaga kehormatan/’izzah) sehingga mereka tidak meminta-minta kepada temannya, tidak pula memandang penuh harap saat temannya menikmati makanan.
Sumber : FP Muhammad Fauzil Adhim
Posting ulang di web kaos dakwah @kaosbapaksholeh
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.