Malam itu, Fathurrahmi datang. Sahabat saya asal Cadek, Aceh, ini bertutur mengenangkan masa-masa kecil ketika meunasah–semacam mushallâ–menjadi tempat terindah bagi anak laki-laki pada masa itu untuk menghabiskan waktu malam. Bercengkerama bersama-sama sambil meraup ilmu yang seakan selalu mengalir dari para Tengku. Bakda magrib adalah waktu-waktu untuk belajar mengakrabi Al-Qur`an dan pengetahuan fikih dasar.
Saya merasakan ada kesedihan yang mendalam di sela-sela ucapannya. Bukan untuk meratapi permukiman yang telah rata dengan bumi karena disapu tsunami. Tetapi, rasa kehilangan yang sangat besar karena tradisi yang sangat baik itu sekarang seakan sudah ditelan bumi.
Cerita yang dituturkan oleh Fathur ini mengingatkan saya pada masa kecil yang indah, ketika hampir semua orang di kampung menjadi penjaga bagi setiap anak. Masjid dan mushala–orang di kampung saya menyebutnya langgar–adalah tempat bagi anak laki-laki yang sudah beranjak besar berkumpul, belajar, dan tidur. Anak-anak yang sudah menjelang ‘âqil-bâligh itu mengisi waktunya dengan menghafal nazhamyang berisi petuah-petuah berharga atau rumus-rumus ilmu yang digubah dalam bentuk syair: Matan Alfiyyah yang berisi prinsip-prinsip bahasa Arab, adalah kumpulan syair bersajak. Nazhaman adalah istilah untuk kegiatan melantunkan nazham berharga ini.
Menjelang Magrib, kira-kira satu atau setengah jam sebelum azan berkumandang, anak-anak biasanya sudah bersiap dengan pakaian bersih, siap untuk berangkat ke rumah guru ngaji yang dipilih. Sarung sudah dipakai dengan rapi, dan kopiah hitam dikenakan untuk menandai sudah siap belajar mengaji. Anak-anak itu biasanya sudah mempunyai guru ngaji sendiri; di mushala-mushala atau datang ke rumah-rumah. Anak-anak yang masih belum berusia tujuh tahun–belum mumayyiz–biasanya mendatangi pelajaran mengaji di rumah-rumah. Mereka belajar bersama anak-anak perempuan. Jika anak sudah seminggu belajar mengaji di suatu tempat yang dipilih anak, orangtua biasanya mendatangi guru mengaji tersebut dengan kepasrahan yang tulus untuk menitipkan secara resmi agar anaknya dididik dan dido’akan dalam setiap shalatnya.
Para guru ngaji itu ibarat orangtua kedua atau bahkan lebih. Nasihat mereka adalah nasihat orangtua. Kalau para guru itu menghukum, orangtua umumnya selalu membenarkan tindakan tersebut. Kalau anak tampak tidak terima dengan tindakan guru terhadapnya, orangtua biasanya menjadi penengah yang memahamkan anak, sehingga tetap timbul kecintaan pada guru. Kisah tentang Nabi Musa ’alaihis-salam tatkala berguru kepada Nabi Khidir’alaihis-salam biasanya membuat anak-anak terhibur dan bersabar, sembari berharap mudah-mudahan ilmu kami manfaat.
Jauh sekali bedanya masa itu. Orangtua tidak perlu gelisah kalau anak laki-lakinya tidak tidur di rumah, karena tempat anak laki-laki yang sudah menjelang ‘âqil-bâligh hingga menjelang mereka menikah adalah masjid atau langgar. Kalaupun mereka tidur di rumah teman, mereka juga tidak khawatir karena yakin orangtua temannya anak akan membangunkan pada waktu Subuh dan mengingatkan jika ada akhlak yang tidak baik. Rasanya tiap orang menjadi pendidik bagi setiap anak. Setidaknya mereka turut menjaga anak orang lain.
Saya ingat pada waktu kecil saya biasa datang ke rumah-rumah tetangga untuk melihat televisi saat siaran berita. Saya bawa sebuah blocknote kecil untuk mencatat isi berita, dan segera beranjak pergi sesudah siaran berita usai. Sekali waktu ketika saya terbawa untuk ikut nonton acara berikutnya yang kebetulan tidak bagus, pemilik televisi kerap kali mengingatkan saya agar bermain di luar. Tidak nonton televisi.
Tetapi…
Itu semua rasanya mimpi saat ini. Ketika SCTV mulai masuk ke kampung kami, para orangtua tak lagi merasa aman jika anak laki-lakinya yang sudah menjelang usia 20 tahun sekalipun, tidak tidur di rumah. Ibu-ibu yang dulu mengajari kami mengaji, sekarang sudah sibuk dengan televisi. Ibu-ibu yang dulu dengan sabar bercerita tentang Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat hingga teladan dari para kiai, sekarang lebih akrab dengan artis di televisi. Bapak-bapak yang dulu mangajari kami dengan Ta’lîm Muta’allim agar ilmu yang kami dapat benar-benar bermanfaat, sekarang sibuk menghafalkan jadwal acara televisi. Dan, Manchester United lebih dekat dengan kehidupan daripada Bidâyatul-Mujtahid.
Tradisi Keilmuan yang Hilang
Pada masa kecil, sebelum SCTV masuk di kampung kami, anak-anak usia 7 atau 8 tahun (masa mumayyiz) mulai mengaji fikih dasar seusai belajar membaca Al-Qur`an. Kami biasanya belajar Safinatun-Najah, yang berisi semacam pengantar fikih tentang berbagai macam masalah. Kalau anak sudah tamat belajar Safinatun-Najah, akan berlanjut ke kitab fikih berikutnya yang lebih kompleks. Tetapi, pembahasannya selalu diawali dengan masalahthahârah; masalah kecil yang sangat menentukan. Pada hari-hari tertentu, kitab yang dipelajari beda. Biasanya berkait dengan akidah dan akhlak.
Hari Kamis malam Jum’at umumnya merupakan hari libur. Anak-anak yang masih berusia 6 sampai 8 atau 9 tahun biasanya libur penuh. Sedangkan anak-anak yang usianya sudah di atas itu, biasanya mempunyai kegiatan. Sebagian langgar menggunakan waktu libur ini untuk membaca Barzanji yang berisi pelbagai pepujian kepada Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi, sebagian lainnya tidak melakukan karena memang tidak menerima tradisi ini.
Kakek saya yang merupakan murid langsung dari Hadratusy-Syaikh Hasyim Asy’ari termasuk yang tidak menerimaBarzanji. Dia membolehkan membaca Barzanji sebagai karya syair, tetapi tidak mengizinkan untuk menjadikannya sebagai acara, sehingga tampak sebagai ritual. Sebagian besar langgar di kampung saya, dulu termasuk yang tidak menerima tradisi Barzanji maupun pembacaan manâqib Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani. Apalagi kalau disertai ingkung (ayam utuh yang mendapat perlakuan tertentu), keras sekali larangan kakek saya. Langgar di kampung saya, ketika itu, umumnya mengikuti pendapat yang melarang keras ritual Barzanji.
Saya tidak ingin berpanjang-panjang dengan pembahasan tentang ini. Ada hal yang ingin saya sebut, yakni betapa makmurnya langgar dan masjid dengan berbagai kegiatan yang melibatkan anak-anak muda sehingga malam Jum’at menjadi saat yang amat berharga. Hal semacam itu pula yang rupanya berlaku di Aceh di masa dulu.
Pertemuan saya malam itu dengan Fathurrahmi, membuat saya tersentak dan menyadari betapa sedikit yang sudah saya berikan kepada anak-anak. Dahulu, anak-anak sudah memahami fikih dasar sebelum mereka berusia 10 tahun. Sehingga, ketika mereka tidak mengerjakan shalat, orangtua memiliki alasan untuk memukul. Meski tidak menyakitkan, tetapi bukankah untuk memukul orangtua harus mengingat bahwa buruk sekali menghukum tanpa memberikan penjelasan? Memberi penjelasan bukan bermakna menghukum sambil menjelaskan. Tetapi anak seharusnya sudah tahu hukum sebelum mereka dapat dikenai sanksi apabila melakukan pelanggaran.
Mengenangkan masa kecil, ada banyak hal yang mengusik jiwa. Ketika tradisi keilmuan melekat kuat di masyarakat, para ibu tidak perlu kebingungan untuk menjelaskan mengapa tidak shalat. Sebab anak-anak sudah belajar di langgar-langgar tentang haid, kaifiyah mandi junub, berwudhu, membedakan bahwa bersih tidak selalu berarti suci, serta berbagai perkara penting lainnya. Hari ini, tradisi keilmuan itu telah berganti dengan tradisi nonton TV. Uang yang dulu ditabung sebagai bekal untuk menuntut ilmu, sekarang beralih fungsi. Orang sibuk menabung untuk membeli mimpi-mimpi yang tak terbeli; mimpi-mimpi yang mereka jejalkan setiap hari kepada diri mereka maupun anak-anak.
Saya pernah merasa terpukul ketika suatu hari ada istri seorang ustadz tergesa-gesa pulang begitu pengajian diakhiri. Bukan karena mengingat ada tetangga yang kelaparan, tetapi karena tayangan telenovela yang disukai sudah dimulai. Saya ingat sekali yang diburu oleh ibu kita ini: Cassandra. Saya tidak tahu, sekarang masih ada atau tidak tayangan tersebut. Saya berharap sudah tidak ada lagi. Tetapi, kalaupun sudah tidak ada, apakah acara-acara di televisi sekarang sudah lebih baik?
Mengenangkan masa kecil, banyak pelajaran yang menggugah saya untuk merenungkan sejenak. Inilah masa ketika orang bersungguh-sungguh untuk mencari ilmu, sekurangnya yang menjadi bekal dasar kehidupan mereka. Ulama adalah orang yang paling sering menangis, menangisi dirinya sendiri karena tak mampu mengingatkan orang lain, menangisi kekurangannya dalam berbuat baik dan menangisi manusia yang belum menyambut hidayah. Mereka dipanggil kiai karena masyarakat memberikan panggilan itu. Bukan karena mereka memberikan julukan untuk dirinya sendiri seraya membuat kartu nama indah bertuliskan gelar Kiai Haji. Mereka menarik tangannya segera begitu ada yang bergerak untuk menciumnya. Bukan memerah mukanya karena santri tak menggamit tangannya untuk dicium.
Pada masa itu, saya mendapati NU dan Muhammadiyah belajar dari sumber yang sama. Di kampung saya, kebetulan NU maupun Muhammadiyah perintisnya adalah keluarga. Hari ini, ketika tradisi keilmuan itu berganti dengan tradisi nonton televisi, Muhammadiyah kehilangan ulama. Sementara ulama NU banyak yang kehilangan integritas. Hari ini, saya mendapati orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan sebagai ulama, telah menisbahkan diri sebagai ulama. Pada saat yang sama, anak-anak kita semakin jauh dari agama. Masa-masa emas mereka terlewatkan begitu saja tanpa belajar agama secara teratur.
Astaghfirullâhal-‘azhîm. pengetahuan saya tentang psikologi, ternyata membuat saya keliru memaham anak. Saya melihat mereka lebih kecil dari seharusnya. Ataukah saya yang keliru dalam belajar?
Sumber : FB Mohammad Fauzil Adhim
Diposting ulang disitus brand kaos islami @kaosbapaksholeh.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.