Siapa yang Lebih Didengarkan Oleh ANAK KITA?

posted in: Artikel | 0

Kaos Dakwah | Apakah yang dapat kita renungkan dari kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalaam? Keduanya adalah nabi yang Allah Ta’ala berikan kemuliaan amat tinggi. Keduanya adalah rasul, orang yang diutus Allah ‘Azza wa Jalla untuk menyampaikan risalah agar orang-orang yang ingkar kepada Allah Ta’ala menjadi manusia beriman. Dan seorang nabi, akhlaknya pasti terjaga, imannya sudah jelas luar biasa dan ‘ibadahnya tak perlu kita ragukan.

Mereka berdua adalah manusia pilihan sepanjang zaman. Jangan tanya kesungguhan keduanya ‘alaihimassalaam bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak mungkin seorang nabi lemah ‘ibadahnya dan rapuh keyakinannya.Tidaklah mereka berdo’a kepada Allah Ta’ala melainkan sepenuh keyakinan dan amat besar pengharapannya. Tetapi ini semua tak mencukupi untuk mengantarkan anak-anak agar menjadi manusia beriman. Kita belajar dari sejarah agama ini betapa putra kedua Nabi ‘alaihimassalaam ini justru termasuk ahli neraka dengan siksa yang kekal. Na’dzubillahi min dzaalik.

Mengapa bisa demikian? Mari sejenak kita renungi firman Allah Ta’ala, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari(siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.(QS. At-Tahriim, 66: 10).

Apa yang dapat kita renungkan dari ayat ini? Ada beberapa hal. Sebagian di antaranya adalah, betapa kita amat perlu bersungguh-sungguh mendidik anak-anak kita dan menghindarkan mereka sejauh-jauhnya dari siksa neraka. Jika hari ini kita tak tega melihat penderitaan mereka di dunia, lalu merasa amat khawatir dengan “masa depan mereka” sesudah dewasa nanti, maka tegakah kita membiarkan wajahnya melepuh dibakar api neraka? Sedangkan seorang nabi pun tak sanggup mengelakkan anaknya dari siksa neraka jika tak ada iman di hati orang yang amat dicintai tersebut.

Ayat ini secara jelas menunjukkan kepada kita betapa khianatnya seorang istri akan meruntuhkan bangunan iman di rumah kita, meski kita tak putus berdakwah dan tak lelah menyampaikan risalah-Nya. Segenggam iman anak kita akan terlepas begitu saja jika istri tak satu kata dengan suami. Ayahnya memang beriman, tapi ibu yang setiap saat mendekap dan mengasuhnya terlepas dari iman, sehingga anak pun tak sanggup menggenggam iman kepada AllahTa’ala.

Bayangkan. Mereka hidup di masa ketika pengaruh dunia luar tak sebanyak sekarang. Ada tetangga, tapi saling berjauhan jika diukur dari dekatnya tetangga di zaman kita. Tak ada media massa yang mencecar dengan berbagai hal secara masif, intensif dan terus-menerus sebagai sekarang. Tak ada internet, tak ada juga pembantu rumah-tangga maupun lembaga pendidikan formal. Tetapi ketika ayah dan ibu sudah tidak sejalan, maka segenggam iman di hati anak tak dapat tumbuh mengakar dengan kuat. Maka, apakah yang dapat kita renungkan untuk kita hari ini? Apakah yang dapat kita renungkan tentang anak-anak kita?

Cara paling aman yang dapat kita lakukan agar anak tak terpapar pengaruh dari luar adalah mendidik sendiri anak kita di rumah. Tidak mengirim mereka ke sekolah. Tetapi ada syaratnya. Pertama, kita memang harus benar-benar mengilmui apa yang kita akan ajarkan sekaligus mengilmui bagaimana mengajarkannya kepada anak. Kedua, kita harus dapat menjamin bahwa orang-orang yang tinggal serumah dengan kita juga harus sejalan dan sepaham dengan kita. Ketiga, kita mendidik mereka secara total sehingga anak-anak memperoleh bekal yang mencukupi.

Nah, pertanyaannya, siapkah kita untuk itu semua? Jika tidak, maka pilihan kita adalah secara sengaja mengizinkan orang lain mempengaruhi anak kita melalui sekolah. Merekalah guru-guru yang memang secara khusus belajar bagaimana mendidik anak. Tetapi ini pun tidak cukup. Jika guru hanya mengajarkan materi pelajaran, sementara mereka tak punya komitmen yang tinggi dan kepedulian terhadap iman anak-anak kita, maka jangan terkejut jika anak-anak fasih berbicara tetapi hampa imannya. Mereka pandai berbicara tentang agama, tapi tak meyakininya sepenuh jiwa.

Selain guru, ada sumber pengaruh lainnya yang potensial.Anak pasti akan bergaul dengan teman-temannya. Mereka berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Maka ketika datang ke sekolah, mereka juga membawa kebiasaan, budaya, cara pandang dan bahkan keyakinan keluarga ke sekolah. Nilai-nilai yang mereka dapatkan dari rumah, akan mereka tawarkan kepada teman-temannya di sekolah. Saling pengaruh akan terjadi. Pertanyaannya, kita-kira anak kita termasuk yang mudah terpengaruh ataukah yang paling banyak mempengaruhi temannya? Kira-kira, pengaruh baik ataukah buruk?

Pergaulan anak dengan temannya boleh jadi menguatkan atau sebaliknya melemahkan nilai-nilai yang kita tanamkan dari rumah maupun yang dibekalkan oleh guru di kelas. Kita dapat menyalahkan teman-temannya, bahkan orangtua mereka, manakala anak kita menjadi buruk setelah bergaul dengan teman-temannya. Tapi ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab dengan pikiran jernih dan hati yang bersih, mengapa teman-temannya dapat meruntuhkan apa yang telah kita tanamkan? Apakah yang menyebabkan anak lebih mempercayai temannya? Dan apa pula yang menjadikan perkataan kita lebih dipegangi dengan penuh rasa hormat.

Secara sederhana, jika anak-anak memiliki kedekatan emosi yang kuat dengan kita dan melihat kita sebagai sosok yang jujur, maka anak akan lebih mendengar perkataan kita. Nasehat kita akan mereka perhatikan. Bahkan jika anak melihat orangtua sebagai sosok yang mengagumkan, mereka akan berusaha meniru dan menjadikan kita sebagai panutan. Pun demikian dengan guru, jika anak melihat guru sebagai figur yang layak dipercaya dan dihormati, pengaruh guru akan kuat. Karenanya, orangtua dan guru memiliki tugas untuk saling menguatkan kepercayaan anak terhadap keduanya. Orangtua menumbuhkan kepercayaan, penghormatan dan ikatan emosi anak terhadap guru. Sementara guru semenjak awal menanamkan kepercayaan, kecintaan dan keinginan untuk senantiasa berbuat kebajikan kepada kedua orangtua (birrul walidain).

Ada tiga kebutuhan psikis anak yang harus kita perhatikan. Jika kebutuhan ini tak terpenuhi, maka temannya akan lebih berpengaruh daripada orangtua maupun guru. Jika kebutuhan tersebut hanya terpenuhi di rumah, maka orangtua akan menjadi figur yang berpengaruh, tetapi anak masih cukup mengkhawatirkan di sekolah. Pengaruh orangtua akan melekat lebih kuat jika mampu membangun kedekatan emosi yang kuat sekaligus memenuhi tiga kebutuhan anak tersebut. Sebaliknya, jika anak tak memperoleh pemenuhan atas kebutuhannya di sekolah saja, maka guru akan berperan sangat penting dalam membentuk kepribadian anak. Mereka amat menentukan.

Kuatnya pengaruh orangtua dan guru bukan berarti anak tak dapat bergaul dengan temannya. Bukan. Tetapi anak lebih mampu menyaring sesuai nilai yang ia terima dari orangtua atau guru. Ia pun dapat menjadi sumber pengaruh bagi temannya.

Lalu apa tiga kebutuhan yang perlu kita perhatikan tersebut? Pertama, anak perlu menyadari dan meyakini bahwa ia memiliki kemampuan yang bermanfaat. Kedua, anak mampu menjalin hubungan yang nyaman dan bermartabat dengan orangtua dan/atau guru. Ketiga, anak memiliki kebutuhan untuk memiliki peran atau sumbangsih yang berharga, baik di rumah maupun di sekolah. Nah.

 

Wallahu a’lambish-shawab.

*** Catatan ini merupakan epilog dari buku “Segenggam Iman Anak Kita” terbitan Pro-U Media, Yogyakarta yang mulai beredar hari ini, 1 Oktober 2013. Saya tampilkan di sini dengan perubahan pada judul tulisan, semoga catatan ini bermanfaat. Semoga kita dapat saling mengingatkan, mendo’akan dan menasehati.

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Sumber : Fanpage Mohammad Fauzil Adhim

Follow Suryono:

Brand kaos distro muslim Kaos Bapak Sholeh adalah brand clothing dari Jogja. Kami membuat kaos distro muslim bertema keluarga. Semoga menjadi wasilah untuk menjadi pribadi yang lebih bertaqwa dan mendekat dengan Nya.

Leave a Reply