Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Anak itu menangis keras-keras. Ia meminta uang kepada ibunya untuk membeli es krim di toko seberang. Tapi sang ibu tak kunjung member. Kata ibu, sekarang sedang tidak ada uang.
“Mama tidak punya uang. Coba lihat ini kalau tidak percaya,” kata ibu sambil membuka dompet seraya membelalakkan mata lebar-lebar. Menyeramkan. Tetapi itu semua tak membuat anak menghentikan tangisnya. Justru semakin bersemangat ia menangis, semakin keras ia meneriakkan permintaannya.
“Mama bohong. Mama pelit,” teriak anak itu keras-keras sembari berlari menuju kamar ibunya. Melihat itu, ibu segera sigap, berusaha mencegah anaknya. Ah, barangkali ada rahasia keuangan di kamar ibu. Setengah panik, ibu berkata, “Hei, mau kemana??!! Nggak boleh nakal begitu.”
Sebuah drama yang sempurna. Di saat sedang berkutat dengan anaknya, seorang kawan lama datang. Kawan yang sangat baik dan akrab. Bersemangat sekali ia menyambut kedatangan kawannya ini. Penuh kehangatan. Bersemangat pula ia menceritakan betapa nakal anak-anaknya. Inilah salah satu sisi yang absurd; sulit dimengerti dari ibu-ibu. Mereka kerap menceritakan kenakalan anak sehingga anak merasa malu, tapi merasa dongkol manakala ada yang menceritakan bahwa anaknya nakal.
“Maa syaa Allah… Nakalnya anakku. Yang besar itu kalau nggak ditemani, nggak mau tidur sendiri, Yang nomor dua juga begitu, sukanya ribut terus. Suka teriak-teriak, naik-naik ke meja. Apalagi yang satu ini,” kata sang ibu heroik. Penuh semangat. Belum selesai, anaknya menangis keras-keras. Kali ini disertai teriakan yang lebih lantang, “Mama, beliin es krim. Uangnya, Ma…!”
Cepat-cepat ia beranjak dari ruang tamu menuju ruang tengah menemui anaknya. Betapa malu ia pada sahabat lamanya demi mendengar teriakan anak yang berontak meminta uang. Tangan sudah siap mencubit, sementara wajah sudah siap untuk tampil lebih menyeramkan.
“Kamu jangan nakal begitu, dong. Malu didengar tamu,” bentak sang ibu dengan suara setengah berbisik. Tak lupa, cubitan keras melayang ke lengan anaknya.
“Aduh… Aduh… Mama nakal. Mama jahat. Mama suka mencubit,” teriak si anak lebih keras lagi, “Mama pelit….!!! Es krim, Ma….”
Tak tahan, sang ibu segera memberi uang. Bukan dari dompet kosong yang tadi ditunjukkan pada anaknya, tetapi dari balik saku yang lain.
“Ini!!! Cepat pergi. Belie es krim sana,” kata ibu sewot berusaha menahan marah. Anaknya menerima uang dengan kegirangan sembari menyeka airmata yang berhenti tiba-tiba, seiring berhentinya tangis. Sebuah kemenangan yang sempurna. Sebuah pelajaran tentang teknik memaksa orangtua, baru saja ia peroleh dari ibunya. Pelajaran lainnya adalah tentang bagaimana berbohong yang efektif. Ini sekaligus mengajarkan anak untuk tidak mudah percaya kepada ucapan-ucapan ibunya, termasuk nasehat dan perintah yang diberikan kepadanya.
Peristiwa-peristiwa semacam ini sering tidak disadari oleh orangtua. Di berbagai seminar, banyak orangtua bertanya tentang teknik paling efektif mendiamkan anak; bukan bertanya bagaimana seharusnya memberikan pendidikan kepada anak agar kelak menjadi orang baik. Banyak orangtua bertanya bagaimana menjadikan anak sebagai etalase yang dapat segera dilihat dan dibanggakan semenjak kecil; lupa bertanya bagaimana mempersiapkan mereka sebagai kekasih hati di dunia dan akhirat.
Saya kira, melemahnya kesabaran dan lapang dada dari para ibu inilah persoalan yang lebih patut kita risaukan. Bukan tingkat pendidikan ibu. Banyak ibu yang semakin kesulitan mengekspresikan perasaanya kepada anak, berkurang kesabarannya, dan berpikir instant tentang anak-anaknya, justru mereka yang berlatar belakang pendidikan tinggi.
Sebagaimana ibu tadi, banyak orangtua yang memilih untuk segera memperoleh ketenangan saat itu juga demi dapat tersenyum manis pada tamu, daripada menunggu anak menjadi qurrata a’yun (penyejuk mata) untuk masa-masa berikutnya yang jauh lebih panjang, sejak nafas masih di dada hingga amalan diperhitungkan di Mahkamah Allah. Mereka memilih mudah di awal, tapi tak mempertimbangkan kelanjutan perkembangan anak di masa-masa yang akan datang.
Pertanyaannya sekarang, kapan orangtua perlu memberi dan kapan orangtua seharusnya menolak permintaan anak? Apakah orangtua seharusnya selalu memberi hadiah setiap kali anak melakukan tugas-tugas penting, baik atas suruhan orangtua maupun atas inisiatif anak sendiri? Apa yang sebaiknya dilakukan ketika anak tetap meronta menangis sebagaimana contoh yang kita baca, padahal orangtua terlanjur mengatakan tidak punya uang? Padahalm adakalanya alasan tidak punya uang sungguh tidak dapat diterima anak lantaran anak tahu betul bahwa keadaannya tidak demikian.
Wallahu a’lam bish-shawab. Saya tidak tahu persis apa saja yang perlu kita perhatikan. Hanya pada Allah Ta’ala pengetahuan yang benar tentang segala sesuatu. Sejauh yang mampu saya ketahui, ada beberapa hal yang dapat kita perhatikan:
Tidak Terlalu Kikir
Sikap terlalu pelit tidak mengajarkan anak untuk berhemat. Justru sebaliknya, ini dapat mendorong anak melakukan berbagai tindakan nakal.
Kikir berangkat dari perasaan sayang terhadap harta, sehingga sulit melepaskannya sekalipun kepada anak sendiri. Sedangkan hemat berdiri di atas sikap mempertimbangkan maslahat dan madharat, perencanaan anggaran untuk perekonomian diri sendiri maupun keluarga, maupun penetapan skala prioritas untuk memilih yang terpenting dari yang penting, menjauhkan yang paling tidak penting di antara yang tidak penting. Semua ini merupakan tuntutan atas seseorang yang sudah mencapai taklif, karena salah satu syarat taklif adalah ‘aqil baligh. Sedangkan kemampuan mentasharufkan harta merupakan salah satu kecakapan yang dituntut bagi seorang yang sudah mencapai ‘aqil-baligh.
Sikap kikir orangtua mengakibatkan beberapa dampak bagi anak. Ini dapat dialami seluruhnya oleh anak, dapat pula sebagian saja. Salah satu dampak yang mungkin timbul adalah kecenderungan anak untuk bersikap foya-foya untuk kesenangan diri sendiri. Ia belajar mengembangkan sikap mengambil keuntungan dari setiap kesempatan. Ia memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada untuk memperoleh kemudahan dari orangtua, sehingga ia dapat bersenang-senang tanpa perlu berpikir bagaimana berjuang memperoleh kenikmatan itu semua.
Sikap pelit orangtua juga dapat mendorong anak untuk melakukan tindak kriminal semisal mencuri. Awalnya ia belajar mencuri harta orangtua secara diam-diam. Selanjutnya, dapat berkembang menjadi tindakan pencurian disertai kekerasan. Mulanya kekerasan terhadap saudara dan adik yang mengetahui, berikutnya… na’udzubillahi min dzaalik.
Khusus tentang pencurian yang dilakukan oleh balita, kita perlu berhati-hati menilai. Balita –terlebih yang usianya baru 2 tahunan—banyak yang belum memahami konsep harta, meskipun sebagian anak yang sudah berusia 3 tahun sudah mampu memahami. Mereka sulit membedakan milik sendiri dan milik orang lain. Karena itu, kita tidak dapat serta merta menyebutnya mencuri manakala ada balita mengambil milik orang lain, meskipun orangtua tetap perlu meluruskan dengan lemah-lembut. Perilaku mengambil milik orang lain merupakan hal yang wajar bagi balita, terutama bagi yang belum mengerti.
Akibat lainnya, anak belajar memaksa orangtua. Ia belajar mengembangkan cara memaksa karena tahu bahwa orangtua memiliki sekaligus mampu memberikan apa yang ia inginkan. Ia belajar membantah dan bersikap tidak baik kepada orangtua. Ia pun dapat mengembangkan sikap tidak percaya kepada orangtua. Na’udzubillahi min dzaalik.
Boleh jadi ketiga hal tersebut tidak tampak saat anak di rumah mengingat hukuman yang mengancam, begitu menakutkan anak. Tetapi anak bukan hanya berada di kamar ibunya. Ia juga mempunyai lingkungan dimana ia berkembang bersama-sama dengan orang lain. Di sinilah ia dapat melakukan tindakan-tindakan nakal, misalnya mencuri. Apalagi jika ada teman yang memiliki kecenderungan serupa.
Alhasil, sikap terlalu kikir sebaiknya dijauhi. Permintaan anak, sejauh wajar dan tidak membawa madharat, dapat dipenuhi oleh orangtua, kecuali jika memang tidak mampu. Orangtua hendaklah memberi tanpa banyak syarat dan beban.
Akan tetapi, ada saat-saat dimana orangtua perlu mengekang dan tidak menuruti permintaan anak agar ia dapat belajar menahan diri dari berbagai keinginan yang tidak penting. Juga, agar anak dapat belajar menetapkan skala prioritas kebutuhan yang perlu segera dipenuhi. Tetapi ada hal-hal yang perlu kita ketahui. Tentang ini, insya Allah akan kita bahas pada poin-poin berikutnya di edisi mendatang.
(bersambung).
***Tulisan ini dimuat di majalah Hidayatullah edisi Januari 2015
Sumber : FP Muhammad Fauzil Adhim
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.